Tag: Gaya Hidup yang Konsumtif Akibat Majunya Perekonomian Indonesia

Gaya Hidup yang Konsumtif Akibat Majunya Perekonomian Indonesia

Gaya Hidup yang Konsumtif Akibat Majunya Perekonomian Indonesia – Saat tahun 2018 yang lalu, peristiwa yang dialami Adelina Sau, buruh migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sebuah kisah pilu bagi Indonesia.

Dia pun dikabarkan meninggal karena malnutrisi dan mendapat perlakuan keji dari majikannya di Malaysia. dewa slot

Kasus dari Adelina ini tidak cuma memperlihatkan buruknya tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia, namun pada hakekatnya menjadi gambaran tentang parahnya ketimpangan di negara ini. Bila ditelusuri, Adelina adalah warga yang menemui kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya, sehingga terpaksa keluar dari daerahnya untuk mengadu nasib di negara lain yang lebih maju. https://www.americannamedaycalendar.com/

Gaya Hidup yang Konsumtif Akibat Majunya Perekonomian Indonesia

Mengapakah persoalan semacam ini justru terjadi di saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dalam 20 tahun terakhir? Apa sajakah hal-hal yang dapat dilakukan untuk menanggulanginya?

Ekonomi membaik tapi ketimpangan menjadi berlapis

Pascakrisis ekonomi pada 1998, Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dengan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak utama pertumbuhan itu.

Walau pun demikian, laporan Bank Dunia di tahun 2015 menyebutkan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia ini hanya bisa dinikmati oleh 18-20% masyarakatnya. Mereka yang diidentifikasi sebagai masyarakat konsumtif yang umumnya tinggal di perkotaan.

Kalangan masyarakat ini mempunyai tingkat dan kualitas pendidikan yang tinggi, sehingga mereka memiliki kesempatan lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi pula. Dengan penghasilan yang tinggi, kalangan ini menjadi segmen konsumen yang paling berdaya di pasar. Mereka yang lebih cenderung dalam mengkonsumsi tidak cuma untuk memenuhi kebutuhan harian, namun juga untuk merayakan gaya hidup dan status sosial. Mereka pun membeli berbagai barang mewah, berwisata ke luar negeri, maupun mengenyam pendidikan di universitas-universitas ternama.

Dengan skenario pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5-6% per tahun, jumlah masyarakat konsumtif di Indonesia ini akan makin meningkat, dari 85 juta orang di tahun 2020 menjadi 135 juta orang di tahun 2030. Artinya, aktivitas konsumsi untuk kepentingan gaya hidup pun semakin menjadi perihal yang umum dan normal dilakukan.

Akan tetapi, tak semua orang dapat merayakan gaya hidup konsumtif seperti itu. Masyarakat yang sulit dalam mengakses sumber daya dan peluang kerja yang baik, misalnya, akan makin tersisih secara sosial.

Budaya konsumerisme ini pun kemudian melahirkan watak masyarakat yang terikat dengan falsafah hedonisme. Setiap  individu dalam ekosistem sosial akan terus berupaya untuk mengejar kegemilangan materi, yang dengannya dapat menunjang kemudahan mereka dalam mengonsumsi berbagai macam bentuk komoditas lain, agar citra diri/status sosialnya dikalangan masyarakat bisa tetap terjaga.

Egosentrispun timbul sehingga rasa akan solidaritas dan kepedulian terhadap sesama kemudian hilang. Karena itulah mengapa dalam nas-nasnya, dapat pula kita temukan bagaimana agama juga turut mempersoalkan hal tersebut.

Mengapa tak seluruh orang punya akses?

Gaya Hidup yang Konsumtif Akibat Majunya Perekonomian Indonesia

Kesulitan akses pada sumber daya serta peluang ekonomi bisa disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu dari berbagai faktor yang disebutkan dalam laporan Bank Dunia yang disinggung di atas adalah kondisi awal individu pada saat dilahirkan. Banyak masyarakat di Indonesia yang lahir dengan kondisi keluarga yang miskin, tinggal di daerah pelosok yang jauh dari layanan dasar seperti sekolah, rumah sakit, perlindungan sosial, dan sebagainya.

Situasi awal yang kurang beruntung ketika saat lahir mengurangi kesempatan mereka untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, mereka mudah tersisih dari persaingan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang tinggi. Banyak yang pada akhirnya cuma bekerja di sektor-sektor informal yang berpenghasilan rendah seperti sebagai karyawan toko, supir maupun nelayan.

Karena dengan berpenghasilan rendah, mereka tidak mampu berpartisipasi dalam konsumsi gaya hidup yang makin umum dilakukan dengan membaiknya perekonomian Indonesia.

Dampak destruktif

Bila seorang individu yang tersisih dari suatu aktivitas yang normal dilakukan banyak orang, maka kebutuhan dasarnya akan rasa memiliki atau menjadi bagian dari suatu kelompok sosial menjadi tidak terpenuhi. Perihal ini membuat individu tersebut cenderung mudah bersikap menerima saja. Misalnya orang tersebut pasrah saja diberi gaji sebesar apapun.

Selain dari pada itu, ketersisihan juga melumpuhkan kemampuan individu untuk menalar informasi dengan baik, dan membuat mereka menjadi lebih bergantung pada emosi dalam membuat keputusan. Kecenderungan semacam ini pun membuat mereka rentan terhadap manipulasi, sekaligus melemahkan mereka dalam merespons perlakuan diskriminatif yang mereka terima dari orang lain.

Perihal ini persis seperti yang dialami oleh Adelina di atas. Tersisihnya golongan masyarakat yang tertentu dari kegiatan sosial dan ekonomi membuat mereka, khususnya anak-anak dan perempuan, menjadi rentan. Mereka yang menjadi mudah dimanipulasi oleh berbagai pihak yang tak bertanggungjawab hingga terjerumus dalam praktik migrasi beresiko, eksploitasi, dan perbudakan modern.

Ketersisihan pun membuat orang mudah melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri. Tingginya tingkat konsumsi rokok pada masyarakat miskin, misalnya, menggambarkan kecenderungan ini.

Apa yang perlu dilakukan?

Warga masyarakat yang tersisih dari berbagai aktivitas konsumsi yang telah menjadi norma hidup yang baru rentan mendapat predikat sebagai warga kelas dua. Walau berbagai hambatan yang mereka alami banyak bersifat struktural dan sosio-kultural, sering kali mereka harus menyelesaikan masalah mereka sendiri, sama seperti yang dilakukan Adelina.

Oleh sebab itu, mengingat ambisi Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia di tahun 2030, maka ketimpangan berlapis ini perlu dipetakan dan diminimalisir mulai dari bentuknya yang paling ekstrim. Menciptakan berbagai lapangan kerja untuk masyarakat miskin, membangun infrastruktur di daerah-daerah terpencil, dan memperluas akses pelayanan publik bagi masyarakat yang tinggal di pelosok adalah langkah-langkah awal yang bisa ditempuh.

Selain dari pada itu, kecenderungan sosio-kultural akibat perekonomian yang membaik juga perlu diantisipasi. Berkembangnya pola konsumsi untuk kepentingan gaya hidup serta peranan pelaku pasar dan media di baliknya perlu dicermati dengan kritis, agar masyarakat yang paling rentan tidak makin terpuruk oleh dampak-dampak sosial dan psikologis yang bisa ditimbulkan olehnya.

Ciri-ciri gaya hidup konsumtif terlebih dahulu.

1. Gengsi yang tinggi dan lingkup pergaulan

Sifat yang satu ini memang biasanya menjadi pendorong utama seseorang terjebak dalam perilaku konsumtif, apalagi bagi kaum millenial yang baru saja mendapatkan pekerjaan, mereka ingin dipandang mampu dimata teman-teman sebayanya, terutama dari segi finansial. Banyak juga yang beranggapan bahwa dengan berteman dengan kelompok yang cenderung konsumtif akan dianggap gaul. Gaul bukan berarti mesti konsumtif kok!

2. Membeli produk hanya untuk status

Tidak jarang pula individu menganggap bahwa barang yang mereka gunakan akan menunjukan status sosialnya di masyarakat. Mereka merasa harus menggunakan sesuatu dengan ‘merek’ terkenal dengan harga yang tinggi hanya agar terlihat keren dimata orang lain dengan mengesampingkan kebutuhan mereka.

3. Membeli produk karena terperdaya iklan atau endorsement

Banyak juga nih, masyarakat yang termakan iklan atau iming-iming dari suatu penawaran produk, entah itu kemasan yang menarik, hadiah atau bisa jadi karena model yang mengiklankan adalah artis, influencer, atau idola mereka

4. Selalu mengikuti tren

Tren gadget, tren fashion dan sebagainya. Individu itu cenderung tidak ingin dirinya ketinggalan dengan tren yang ada, setiap produk terbaru muncul dia tidak segan untuk merogeh koceknya demi suatu tren yang berkembang. Padahal apabila mengikuti tren, tidak akan ada habisnya. Sebenarnya, mengikuti perkembangan bukan hal yang negatif, tentu harus diimbangi dengan kontrol yang tepat.